Anwar Tjen Online
Senin, 06 April 2009
  YESUS DARI NAZARET SEORANG BAPA SUCI
(oleh Anwar Tjen, terbit di Pustakaloka, Kompas, 6 April 2009)

Satu karya lagi tentang Yesus dari Nazaret, kali ini dari pena seorang Bapa Suci. Penerbitan Yesus dari Nazaret karya Joseph Ratzinger memang menggelitik rasa ingin tahu. Apa lagi yang mau dikatakan setelah deretan panjang karya sejenis? Apa yang khas dari “pencarian” Kardinal Ratzinger yang terpilih menjadi Paus Benediktus XVI?

Seperti terungkap dalam prakata, karya yang satu ini adalah buah pencariannya akan “wajah Tuhan” (Mazmur 27:8) yang sudah lama ditempuh secara batiniah (innerlich). Siapa pun berhak membantahnya, namun ia meminta simpati pembaca untuk menyimaknya sebelum menyimpulkan sebaliknya.

Pandangan Ratzinger jelas bertolak belakang dengan pencarian Yesus yang cuma menghasilkan sosok manusia biasa. Sebut saja berbagai pencarian Yesus historis sejak Hermann S. Reimarus di abad ke-18 hingga John. D. Crossan dari kalangan “Seminar Yesus” di Amerika Serikat belakangan ini. Kerap kali hasilnya kontroversial. Betapa tidak, entah ditampilkan sebagai nabi atau guru bijak bestari, keilahian Yesus dipersoalkan. Kesahihan sabda-Nya pun diragukan, karena dianggap mencerminkan pandangan Gereja kemudian. Figur yang diimani umat Kristiani sebagai Tuhan, di mata mereka tak lebih dari seorang manusia.

Tidak mengherankan, kritik tajam dilontarkan Uskup Roma itu terhadap rekonstruksi sejarah yang “alih-alih menyibakkan sebuah ikon yang telah lama dikaburkan ... lebih serupa dengan protret para pengarangnya beserta gagasan-gagasan yang mereka punyai”. Di balik kritik ini mengalir deras arus pergeseran paradigma dalam penafsiran Kitab Suci, khususnya sejak masa pencerahan. Dalam pusaran arus rasionalisme, manusia Barat membaca Alkitab bukan hanya sebagai teks sakral yang menyampaikan wahyu ilahi tetapi sebagai tulisan manusia yang terkondisi oleh budaya dan sejarah. Alhasil, berbagai pandangan dogmatis dan keyakinan adikodrati dipertanyakan ulang, bahkan dibongkar, antara lain, lewat perangkat penelitian yang disebut metode historis-kritis.

YESUS HISTORIS
Menariknya, dalam pencarian wajah Tuhan, Ratzinger juga berenang dalam arus yang serupa. Metode historis-kritis tidak diharamkannya. Selaras dengan hakikat iman yang berjangkar pada realitas historis, metode ini malah sangat esensial untuk menelisik konteks historis peristiwa-peristiwa yang dituturkan. Untuk sampai kepada Yesus historis (historischer Jesus), Yesus sesungguhnya, ia bersikap eklektik dengan memilah dan memilih tafsiran yang dinilai paling solid berdasarkan data historis yang tersedia. Tentu saja, ada berbagai pertanyaan yang tidak terjangkau oleh metode historis-kritis semisal apakah manusia Yesus sebelum kelahiran-Nya adalah Allah sendiri. Persoalan bagaimana sosok Yesus dimengerti secara kristologis dalam keterpaduan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru juga tidak dapat diputuskan hanya lewat metode ini. Pemahaman demikian melibatkan keputusan iman yang berpijak pada akal budi historis (historische Vernunft), suatu gagasan bernas yang sayangnya tidak diuraikan lebih jelas.
Yang ingin disuguhkan kepada pembaca adalah Yesus historis yang jauh lebih logis dan mudah dipahami daripada rekonstruksi yang menciutkan apa saja sebagai gejala manusiawi belaka. Penelitian Rudolf Schnackenburg, misalnya, hanya menyimpulkan betapa intimnya hubungan Yesus dengan Allah. Melampaui kesimpulan sebatas itu, penulis menegaskan status Yesus sebagai Anak yang hidup dalam kesatuan dengan Bapa. Tanpa inti hakiki ini, segala perkataan, tindakan dan pengalaman Yesus tidak terpahami. Dimensi kristologis inilah yang membedakan Dia dan Musa yang meski dekat sekali dengan Allah tidak diizinkan melihat wajah-Nya.

Bagian pertama dari dua jilid yang direncanakan menguraikan beberapa peristiwa penting dalam kehidupan Yesus, berikut dengan ajaran-Nya. Pembaca boleh jadi bertanya-tanya mengapa titik berangkatnya justru pembaptisan-Nya, bukan kelahiran-Nya. Alasannya hanyalah soal prioritas. Mengingat usia penulis yang kian meluruh dalam waktu, karya dan ajaran Yesus lebih mendesak untuk dihadirkan ke hadapan publik. Pandangan kristologis-sakramental tampil sebagai warna dominan dalam refleksi teologisnya. Ini kelihatan, misalnya, dalam ulasannya mengenai Doa Bapa Kami. Makanan sehari-hari yang dimohonkan tidak dimengerti sebatas jasmani melainkan mencakup pula makanan dalam perjamuan surgawi kelak. Makanan sakramental berupa tubuh Kristus pada perayaan ekaristi mengantisipasi makanan surgawi itu.

Mengingat kekhasannya, Injil Yohanes mendapat perhatian tersendiri di antara kitab-kitab Injil. Dengan dukungan argumen pakar semumpuni Martin Hengel, penulis menepis pandangan Rudolf Bultmann yang menelusuri akar pemikiran Yohanes pada pandangan Gnostik. Faktanya, aliran Gnostik baru berkembang sejak abad kedua, sementara Injil Yohanes ditulis menjelang akhir abad pertama. Perkiraan ini dikukuhkan oleh penemuan fragmen salinannya di Mesir yang berasal dari awal abad kedua.

Proses “kreatif” yang bergulir di balik penulisan Injil itu tidak disangkal oleh Ratzinger. Bagai senyawa yang diracik dari beberapa unsur, di dalamnya terpadu kisah yang diwariskan “murid terkasih” Yesus, ingatan pribadi anonim yang menulisnya, tradisi gereja dan realitas historis. Namun, ia tidak dapat menerima pendapat Hengel yang menilai penulis Yohanes telah “memerkosa” (vergewaltigt) realitas historis. Sebaliknya, Ratzinger bersikukuh, peran Roh Penghibur (Yunani, parakletos) yang ditekankan oleh Hengel tidak seharusnya melemahkan peran ingatan historis. Ingatan tidak berarti pemelintiran fakta historis semaunya. Seperti yang dialami para murid pasca kebangkitan Yesus, ingatan membuka wawsasan baru mengenai apa yang sungguh-sungguh telah terjadi (factum historicum).

"APOLOGETIS"
Bagaimanapun, kajian Ratzinger tidak dimaksudkan sebagai perdebatan akademis dalam arena tafsir yang penuh ranjau. Sepanjang tulisannya, ia mengungkapkan kedalaman penghayatannya terhadap Kitab Suci sambil berdialog dengan pandangan dan realitas hidup kini. Khotbah Yesus di Bukit dimaknainya sebagai jawaban “tidak” terhadap rezim yang menginjak-injak harkat manusia. Dari sumur inspirasi yang sama ditimbanya kritik terhadap kezaliman kapitalisme yang menurunkan nilai manusia menjadi komoditas. Ucapan Bahagia dalam khotbah yang terkenal itu, tegas Ratzinger, sepantasnya direnungkan sebagai ajakan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan hakiki mengenai sikap hidup dan pendirian kita.

Sembari berefleksi tentang godaan Iblis yang menantang Yesus “menyulap” batu menjadi roti, suara kritis diperdengarkan terhadap utopia ala Marxisme tentang kesejahteraan dunia yang merata. Apalagi, dunia utopis itu tidak menyisakan ruang bagi Allah. Dalam keyakinan penulis, sejarah mustahil dapat ditata menurut prinsip materialis semata-mata. Tanpa Allah yang adalah kebaikan itu sendiri, bagaimana mungkin hati manusia bisa baik? Tanpa hati yang baik, bagaimana mungkin semuanya dapat diubah menjadi baik?

Seperti kritik penulis terhadap potret-potret sebelumnya, pertanyaan kritis dapat pula diajukan mengenai potret Yesus versi Ratzinger. Sejauh mana protret alternatifnya menyibakkan ikon yang memudar dan tidak mencerminkan gagasan penulisnya sendiri? Bagi pembaca yang biasa terjun dalam gelanggang tafsir, nada Ratzinger cukup sering terdengar apologetis. Pandangan yang membela keyakinannya cenderung dipertahankan melawan pendapat yang berseberangan. Di balik proses ini pun teramati pengaruh tradisi gereja. Disadari atau tidak, soal siapa Yesus tak mungkin lepas dari soal keyakinan.

Terjemahan karya pewaris Takhta Suci itu, sayangnya, terkesan kurang merata. Terutama menjelang akhir, bahasanya kurang mengalir. Selain kata yang makin langka seperti “berkanjang”, penerjemah senang menciptakan istilah sendiri seperti “pindai-hati” yang belum dikenal luas. Pembaca yang jeli akan menemukan lima baris komentar editorial mengenai istilah “Sang Kebangkitan”, padanan der Auferstandene (hlm. 330), yang rupanya tak sempat dihilangkan sampai detik akhir penyuntingan.

(Anwar Tjen, PhD dari Universitas Cambridge dalam Filologi dan Tafsir Kitab Suci, Konsultan Lembaga Alkitab Indonesia)
 
Minggu, 05 April 2009
  KUASA MINYAK URAPAN & PERJAMUAN KUDUS?
MINYAK URAPAN DAN PERJAMUAN KUDUS yang diberikan di gereja tertentu belakangan ini menimbulkan tanda tanya bagi cukup banyak warga gereja. Sebab, minyak dan perjamuan itu diyakini membawa mujizat kesehatan dan ekonomi, serta berbagai berkat lainnya. Benarkah demikian? Bagaimana kita mengujinya berdasarkan Alkitab? Tulisan ini merupakan versi singkat dari bahan yang disampaikan di GKPI Menteng (April 2009).

A. KUASA MINYAK URAPAN?
Menurut Pdt. DR (?) Yesaya Pariadji yang mempopulerkannya, Yesus memerintah­kan gereja yang dipimpinnya untuk mengembalikan kuasa Perjamuan Kudus dan Minyak Urapan. Tidak tanggung-tanggung, Yesus mengajarnya lebih dari tujuh kali tentang kuasa Perjamuan Kudus. Ia diberi Roh Martir, sehingga mem­punyai kuasa untuk membentuk Perjamuan Kudus yang benar. “Saya dibe­rikan penglihatan dan janji Tuhan Yesus akan menyembuhkan lebih dari 10.000 orang. Saya pernah diberikan penglihatan di alam roh, setan dan roh jahat berduyun-duyun datang dan ber­lutut di kaki saya, dan memohon: Pariadji, jangan siksa kami” (Bahana, April 2001)


1. DEFINISI PENGURAPAN (anointing)
“Urap”: bedak cair, boreh (bau-bauan untuk melumasi badan supaya harum (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
“Anoint”: menuang minyak atau me­ngolesi, melumuri kepala atau ba­gi­an tubuh lainnya; bisa juga dila­ku­kan pada benda tertentu

2. PEMAKAIAN NON-RELIGIUS
- membuat roti (Kel 29.2)
- mencat rumah (Yer 22.14,
“masoakh”)
- kosmetik (Rut 3.3; Am 6.6)
- menyambut tamu (Luk 7.46)
- perawatan medis (Yes 1.6;
Yeh 16.9; Mrk 6.13)

3. PEMAKAIAN RELIGIUS
Benda/tempat
- tugu, batu (Kej 28.18; 31.13)
- Kemah Suci (Im 8:10), mezbah (Kel 29:36; Bil 7:10), Tabut Hukum (Kel 30.26), segala perlengkapan (Kel 40.10; Bil 7:1): semua diurapi untuk dikuduskan bagi Tuhan

Manusia
- Imam (Kel 28.41; Bil 3.3)
- Nabi (1Raj 19.16; Yes 61.1)
- Raja (1Sam 9.16; 16.3): memberi
kua­sa sebagai penguasa teokratis; da­ri konsep ini berkembang keyakinan
akan “Dia Yang Diurapi” (mesiakh, Me­si­as atau Kristus)
- Jenazah (Mrk 14.8; Luk 23.56

4. MINYAK URAPAN DALAM ALKITAB
Minyak khusus ini diracik untuk ke­perluan ibadah di Kemah Suci (Kel 30.22-33). Bahannya: mur, kayu ma­nis, tebu “wangi”, kayu teja, mi­nyak zaitun. Minyak ini tidak boleh di­buat sem­barangan atau dipakai un­tuk orang awam!

5. YESUS DAN PARA RASUL MENGAJARKAN KUASA MINYAK URAPAN?
Dalam PB hanya ada dua nas yang ber­­­bicara tentang penggunaan minyak dalam penyembuhan: Mrk 6.13 & Yak 5.14. Padahal, begitu banyak peris­ti­wa penyembuh­an tanpa menyebut penggunaan minyak apa pun! Dalam Mrk 6.13, Yesus tidak me­­merintahkan peng­olesan minyak. Murid-murid yang diutus-Nya mem­be­ri­ta­kan Injil dan mengusir setan. Tan­pa ada perintah khusus dari Yesus, me­reka “meng­oles orang sakit dengan minyak dan menyembuh­kan me­reka”.

Yak 5.14 adalah nas yang pa­ling jelas tentang pe­nyem­buhan orang sakit lewat doa dan pengolesan mi­nyak dalam nama Tuhan. Dalam 5:15 ditegaskan, “doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang itu”. “Ritus” itu dilakukan dengan me­­manggil presbyteros yang kurang lebih setara dengan imam atau pen­deta seka­rang ini. (NB: Dalam surat 1 Klemens "presbyteros"lah yang berhak untuk melak­sanakan ekaristi, seperti lazimnya wewenang melayankan sakramen bagi para pendeta di banyak gereja Protestan sekarang ini.)

Apa hubungannya dengan “mi­nyak”? Di dunia Timur Tengah kuno mi­nyak se­ring di­gu­nakan untuk me­ng­u­rangi rasa sakit. Karena itu, peng­gunaannya dalam ri­tus Yakobus wa­jar-wajar saja. Na­mun, tidak ada indikasi adanya hu­bung­an langsung an­tara minyak dan kuasa penyembuhan yang istimewa. Dalam Yak 5.15-16, yang ditekankan ialah kuasa doa.

JELASLAH, ritus Yakobus meru­pa­kan salah satu ritus kuno dalam lingkungan Kekristenan untuk men­doakan orang Kristen yang sakit, wa­laupun tidak luas penggunaannya di berbagai wilayah.

6. RITUS PENYEMBUHAN VERSI YAKOBUS HILANG TAK BERBEKAS?
Sebenarnya, tidak! Ritus Yakobus ma­sih dilakukan di Gereja Ka­tolik be­rupa sakra­men Urapan Orang Sakit. Ritus ini juga dilaksanakan di gereja Timur seperti Ge­reja Orto­doks, Nes­torian, Arme­nia dan Kop­tik.

Sakra­men ini diberikan kepada orang Kristen yang sakit berat atau lansia yang sudah lemah sekali, se­lam­bat-lambatnya menjelang bahaya maut (Katekismus Gereja Ka­­to­lik no. 1527-1532). Dalam ritus Katolik, yang diurapi ada­l­ah dahi dan tangan. Di gereja-gereja Timur, bagian yang diu­ra­pi dapat me­liputi mata, telinga, hi­dung, bibir dan tangan. Khusus bagi laki-laki, bahkan selangkangan pun di­urapi, walaupun ini makin jarang dila­kukan. Ritus peng­olesan minyak ini dilakukan dengan doa ­mohon pengam­pu­n­an Tuhan atas dosa yang dilakukan lewat peng­li­hatan, pendengaran, pen­ciuman, pe­ng­e­capan, gerakan dan ke­nik­matan daging (carnal).
Menurut Katekismus Ka­tolik, sak­ramen Urapan Orang Sakit mem­punyai “buah-buah rah­mat khusus”, yakni: persatuan dengan penderitaan Kristus demi ke­se­lamatan dirinya dan Gereja, peng­hiburan dan keberanian untuk me­nanggung sakit, pengampun­an dosa, penyembuhan (kalau ber­guna bagi keselamatan jiwa­nya), tran­sisi ke hi­dup abadi.

Kita dapat pula me­ne­lusuri beberapa jejaknya dalam sejarah ge­reja: Origenes (abad 3) mengaitkan pengampunan dosa dengan ritus Yako­bus, disertai penumpangan tangan. Menurut Krisos­to­mus (abad 4), warga awam sering mem­bawa pulang minyak dari pe­lita-pelita dalam gereja, lalu mengoles­kan­nya pada orang sakit. Krisos­tomus berpendapat, hal ini mem­buk­tikan, se­gala sesuatu da­lam gereja de­ngan sendirinya ikut ter­sucikan! Serapion (abad 4), dalam doa penyucian minyak untuk orang sakit, menyebut manfaatnya: untuk mem­peroleh anugerah dan pengampunan do­sa, sebagai obat bagi kehidupan dan keselamatan, kesehatan ji­wa, tu­buh dan roh, untuk pene­guhan yang sempurna. Bede (abad 8) juga menyebut ritus Yakobus dan mengaitkannya de­ngan pengampunan dosa: “Yang me­nye­lamat­kan orang sakit jelaslah doa berdasarkan iman, sedangkan minyak yang disucikan adalah tan­danya ... Anugerah Kristus yang ditandai oleh peng­urapan menghancur­kan cengke­ram­an maut, yakni dosa sehari-hari”.

Ritus Minyak Suci mendapat pengakuan sebagai sakramen dalam Konsili Tren­te (1545-1563) yang menegaskan, Kris­tuslah yang mene­tap­kan­nya. Kete­tap­an ini bermaksud mengecam peno­lakan Luther ter­ha­dap status sakra­men­talnya. Namun, perlu dicatat, Luther bersikap demikian terutama karena penya­lahgunaan yang terjadi. Di Abad Per­tengahan, ritus pengurapan orang sa­kit dimengerti sema­kin sempit se­ba­gai persiapan untuk meninggal dunia (viaticum). Kritik Luther juga disebabkan oleh maraknya keperca­yaan akan ke­am­puh­an sakra­men itu sen­diri, bu­kan doa yang dilandasi iman. Selain itu, ada pula alasan ekonomis yang melatar­belakang­inya. Para imam sering menuntut imbalan yang keterlaluan. Alhasil, umat yang miskin hanya memintanya bila yang sakit diyakini sudah ber­ada di ambang kematian.

Praktek penggunaan minyak doa (eukhelaion) di gereja Ortodoks justru memperlihatkan situasi yang sebaliknya. Orang yang sakit ringan, bah­kan yang sehat, dapat menerima mi­nyak doa sebagai pelengkap sakra­men pengakuan dan persiapan Per­jamuan Kudus.

SINGKATNYA, ritus Yakobus ti­dak pernah hilang dalam perjalan­an sejarah, tetapi mengalami meta­mor­fosis dalam berbagai tradisi yang di­te­rus­kan sampai kini.

7. APAKAH RITUS YAKOBUS MASIH BERLAKU DI GEREJA PROTESTAN?
Ini tidak mudah dijawab mengingat variasi bahkan kontradiksi dalam tra­disi yang disebut “Protestan”!

Di gereja Sidang Jemaat Allah (Assemblies of God), pengurapan ti­dak dimutlakkan tetapi diakui seba­gai salah satu sarana yang dapat di­gu­na­kan bersama dengan penum­pa­ngan tangan untuk penyembuhan. Di­se­but­kan pula, dalam Alkitab pe­nyembuhan sering tidak menggunakan sarana de­mi­kian. Namun, penggunaan minyak dan penumpangan tangan atas orang yang berdoa dapat menolong mene­guh­kan imannya.

Gereja Presbiterian juga melaksanakan tradisi Yakobus, yakni da­­lam bentuk ibadah pemulihan (ser­vice of wholeness). Orang yang hen­dak didoakan maju ke depan, boleh juga berlutut. Lalu pendeta dan penatua menumpangkan tangan atas kepalanya, sementara jemaat meng­iringi dengan nyanyian penuh doa. Pen­deta atau penatua mencelupkan jari dengan sedikit minyak dan mem­buat tanda salib di dahinya, lalu ber­doa untuk penyembuhannya. Ritus ini dapat pula dilakukan di rumah, rumah sakit atau rumah jompo. Begitu pula, beberapa Gereja Lutheran masih mengadakan ibadah pemulihan atau penyembuhan lewat sejenis ritus Yakobus. Peng­urapan di­lakukan dengan penumpang­an ta­ngan dalam ibadah yang melibatkan pem­bacaan Alkitab dan khot­bah. Berikut salah satu doa yang diucapkan bersama dengan penumpangan tangan: “Aku tumpangkan tanganku atasmu di dalam nama Tuhan kita. Ki­ranya Tuhan menilik dan me­menuhi engkau dengan anugerah-Nya, sehing­ga engkau mengenal kuasa kasih Allah yang menyembuhkan. ‘X’, aku meng­urapi engkau dengan minyak ini di dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Amin.”

PADA PRINSIPNYA, berbagai tra­disi Protestan tidak menolak ser­ta merta penggunaan minyak dan penumpangan tangan dalam doa pe­mu­lihan. Namun, umum­­nya dite­gas­kan, minyak yang digunakan ti­dak mengandung kuasa mujizat (mi­ra­culous power). Lagi pula, minyak ter­sebut bukanlah “alat anugerah” (means of grace) yang sama seperti sakramen yang ditetapkan Kristus.

B. KUASA PERJAMUAN KUDUS?
Segi kontro­ver­sial dalam klaim tentang kuasa Perjamuan Kudus adalah bahwa sakraman ini membawa ber­kat material, termasuk penyem­buh­an. Benarkah demikian?

8. MAKNA PERJAMUAN KUDUS
Berdasarkan Dokumen Konvergensi Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Lima (1982), Perjamuan Kudus secara umum dimengerti sebagai sakramen anu­gerah yang Allah kerjakan di da­lam Kristus melalui kuasa Roh Kudus. Dengan menerima roti dan anggur, Kristus menganugerahi umat-Nya per­se­kutuan dengan diri-Nya. Dalam Per­jamuan Kudus, Kristus menjanjikan kepada setiap orang percaya pengam­pun­an dosa (Mat 26.28) dan jaminan hidup kekal (Yoh 6:51-56). Sama sekali, tidak ditemukan aspek ma­terial seperti kesehatan atau ber­kat jasmani lainnya penerimaan sakramen ini. Tentu saja, “kesembuhan” (heal­ing) dapat dimengerti secara ro­hani (inner healing), namun pemaha­m­an ini me­ru­pa­kan tafsiran meluas dari peng­ampunan dosa yang dijan­ji­kan Kristus lewat Perjamuan itu.

9. KUASA PERJAMUAN KUDUS: MENDAPAT BERKAT MATERIAL & PENYEMBUHAN?
Joseph Prince (2006) dalam bukunya, Health and Wholeness through the Holy Communion (“Kese­hatan dan Ke­u­tuhan lewat Perjamuan Kudus”) me­ngatakan, Perjamuan Kudus ditetapkan Allah sebagai sarana penting untuk mendapat­kan penyembuhan dan keutuhan. (NB: Prince adalah pendeta New Creation Church di Singapura, yang berang­go­ta­kan 15.000 warga.)

Bagi Prince, Perjamuan Ku­dus bukan hanya ritus yang dira­ya­kan te­ta­pi juga berkat yang diteri­ma. Manfaat kedua unsur Perjamuan itu dibedakannya sebagai berikut: anggur/darah un­tuk pengampunan dosa, sedangkan roti/tubuh untuk penyembuhan. Pandangan ini didasarkan terutama pada 1Kor 11.29-30. Me­nurut Prince, yang membuat orang Kris­ten jatuh sakit bahkan meninggal du­nia setelah mengikuti Perjamuan itu adalah karena mereka tidak tahu me­ng­apa mereka makan roti itu.

Cara yang benar untuk mengikuti Perjamuan Kudus, tegas Prince, ialah dengan menyadari bahwa tubuh kita men­­jadi sehat, kuat dan awet muda ketika kita mengambil tubuh Kristus yang dibagikan. Sama seperti menelan obat yang dianjurkan dok­­­ter, Perjamuan Ku­dus harus lebih sering diterima bila orang sedang sakit.

Benarkah ini yang dimaksudkan Paulus dalam 1Kor 11.29: “Barangsiapa ma­kan dan mi­num tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hu­kum­an atas diri­nya” (11.29)? Di sini, kita harus mem­perhatikan konteks tulisan Paulus. Di ayat 27, Paulus ber­bicara tentang cara yang tidak layak untuk meng­ikuti Per­jamuan. Orang berebut makan, sehingga menimbulkan perpecahan. Dengan kata lain, yang dikritik Paulus ialah cara yang tidak layak dalam mengikuti Per­jamu­an itu. Orang yang berbuat demikian berdosa ter­hadap tubuh dan darah Kristus.

JADI, pernyataan Paulus tidak ada kait­annya dengan apa yang Prince se­butkan sebagai manfaat berupa ke­se­hatan atau pe­mulihan jasmani yang ter­kandung da­lam roti dan anggur Perjamuan!

10. ALKITAB MENGAJARKAN KUASA MINYAK URAPAN & PERJAMUAN KUDUS?
Pernyataan-pernyataan Pdt. Pariadji memperlihatkan dua sumber utama ajarannya mengenai kuasa “sa­ra­na mujizat” itu: YANG PERTAMA DAN TERUTAMA, peng­lihatan langsung dalam perja­lan­­an ulang alik ke surga dan ne­raka (http://www.tiberias.or.id/main.php?id=27).
KEDUA, pemahaman “main co­mot” terhadap teks-teks Alkitab dengan mem­perkosa maknanya.

Sebagai contoh dapat disimak pemahaman­nya tentang kutipan berikut dari kitab Mikha: “Berkenankah TUHAN ke­pa­da ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak?” (Mi 6.7) Pariadji mengartikan “ribuan domba jantan” sebagai ribuan Perjamuan Kudus dan “puluhan ribu curahan mi­nyak” sebagai pulihan ribu Minyak Urapan. Pen­jelas­an seperti ini benar-benar memper­kosa maksud teks Alkitab. Per­tanyaan retoris di ayat 7 itu jus­­tru bermaksud untuk menegaskan bahwa bukan domba jan­­tan atau minyak urapan yang di­tuntut Tuhan, melainkan apa yang dikatakan dalam ayat berikutnya: "Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?" (Mi 6.8)

Ketika menguraikan berkat-berkat Perjamuan Kudus dan Minyak Urapan, jelas sekali Pariadji mencomot ayat-ayat Alkitab lepas dari konteksnya. Mzm 91.15-16 dipakai sebagai acuan untuk janji umur panjang; Mzm 91.6: sehat dan bebas dari sakit; Mzm 91.13: menang atas setan dan kuasa kegelapan; Yes 48:19: keluarga selamat dan tercatat sebagai warga surga; Ibr 1:9: menjadi unggul di bidang masing-masing. Padahal, se­mua nas ini tak ber­bicara sedikit pun tentang Minyak Urapan atau Perja­mu­an Kudus!

11. PENUTUP
Barangkali ada yang bertanya: Apakah mujizat masih terjadi? Bapa Gereja Agustinus (354-430): Ciptaan adalah manifestasi ke­­hen­dak Allah. Muk­jizat bukan ma­sa­lah bila orang per­caya kepada Allah sebagai pencipta dan penguasa cip­taan-Nya.

Namun, dalam arti yang spesi­fik se­bagai tindakan ilahi yang menak­jub­­kan dan luar biasa, muji­zat bu­kan­­lah suatu tin­dakan yang dapat “di­rutinkan” se­ba­gai sua­tu prosedur umum. Meskipun meng­ada­kan berbagai mujizat, Yesus tidak per­­nah meng­ik­lan­kan tindakan luar bia­­sa itu seperti yang dila­ku­kan bebe­rapa peng­khotbah sekarang.

Lebih parah lagi, ada salah kap­rah, seolah-olah semua penyakit dan pen­deritaan akan dilepaskan oleh Tuhan lewat doa dan tindakan spek­takular, dengan minyak urapan atau­pun sarana lainnya. Kita perlu ber­ta­nya mengapa Paulus tidak mene­rima kelepasan, padahal sudah tiga ka­li ber­seru kepada Tuhan (2Kor 12.8)? Jawaban Tuhan baginya: “Cukuplah kasih karu­nia-Ku bagimu, sebab da­lam ke­le­mah­­anlah kuasa-Ku menjadi sem­pur­na” (12:9)!

Tentu dapat dimengerti, kita ingin sejahtera, bebas dari ma­salah dan pen­deritaan. Wajar pula ji­ka solu­si kehidupan diharapkan ti­dak melalui proses pan­jang yang me­nya­kit­­­kan. Namun, Alki­tab tidak ha­nya me­­nga­jar­kan ba­gaimana kita bisa le­pas dari semua pengalaman yang tidak kita ha­rapkan. Dalam berbagai pen­­de­­ritaan dan kri­sis, la­hir batin, kita juga diajar Tuhan men­jalaninya da­­lam iman dan peng­harap­an.
Muji­zat ma­sih terjadi, te­tapi kehi­dup­an orang ber­iman da­pat pula men­jadi “muji­zat” yang me­nakjub­kan jika dalam menempuh lembah ke­kelam­an dan pen­de­ri­taan tetap terungkap keyakinan, se­perti ber­ikut: “Sebab jika aku le­mah, maka aku kuat” (2Kor 12.10). “Se­­kali­pun po­hon ara tidak ber­bu­nga, po­hon ang­gur ti­dak ber­buah, ha­sil po­hon zai­tun menge­ce­wa­kan ... aku akan ber­so­rak-sorak di da­lam TUHAN” (Hab 3.17-18)!

KESIMPULAN: Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa minyak urapan atau kedua unsur Perjamuan Kudus mengandung khasiat untuk kesehatan tubuh atau mendatang berkat material seperti kemakmuran dan kelepasan dari krisis ekonomi. Ajaran demikian benar-benar salah memahami Alkitab, bahkan memaksakan pemahaman yang tidak dimaksudkan oleh Alkitab.
Akhirnya, berbagai klaim tentang mujizat dalam Minyak Urapan dan Perjamuan Kudus haruslah diuji. Seperti prinsip yang diajarkan oleh Rasul Paulus: “Uji­lah segala se­sua­tu dan pegang­lah yang baik” (1Tes 5.21)!

Bogor-Jakarta
Minggu Sengsara 2009
Anwar Tjen
 

Foto Saya
Nama:

Menikah dengan Marta Romauli Simamora, dikaruniai tiga putra: Tobias, Theosis dan Timaeus. Melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI, berpusat di Pematangsiantar) dan konsultan ahli di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Studi lanjut dalam filologi dan tafsir Kitab Suci di Union Theological Seminary in Virginia, USA (Th.M./1995), Pontificium Institutum Biblicum, Roma (1997-98), Ecole Biblique, Yerusalem, Universitas Tesalonika, Yunani (2000). Menyelesaikan studi doktoral di Fakultas Studi Oriental, Cambridge University, UK (PhD/2003), dengan disertasi mengenai Septuaginta, yakni Kitab Suci Ibrani yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Studi komplementer dalam bidang linguistik di Australian National University, Canberra (GradDipl/2007).

Arsip
Mei 2008 / Agustus 2008 / September 2008 / Januari 2009 / April 2009 / Oktober 2009 / Juni 2012 / Juli 2012 / Oktober 2012 / Februari 2013 / Mei 2013 /


Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]